Dia dengan bangga, berani, dan tanpa malu mempamerkan ucapan, tindakan, dan kelakuannya selaku pemimpin revolusi dan ‘musuh’ Barat.
Alhamdulillah, dengan semua dokumentasi tersebut, para ulama Islam dan Persatuan-persatuan Islam antarabangsa memiliki data yang sangat lengkap tentang kekafiran dan kemurtadan Gaddafi.
Berkali-kali para ulama Islam dan persatuan Islam antarabangsa menempuh dengan cara dialog, nasihat, teguran, dan ajakan kepada Qaddafi untuk bertaubat dan menarik kembali semua kekufurannya tersebut.
Namun Qaddafi tetap angkuh mempertahankannya, tanpa sekalipun mahu bertaubat dan memperbaiki dirinya. Walhasil, vonis kafir-murtad untuk Qaddafi tetap disandangnya sampai saat nyawanya berpisah dengan jasadnya.
Sama seperti para taghut diktator lainnya di negeri-negeri berpenduduk majoriti muslim, pada awal revolusinya Gaddafi mempamerkan dirinya sebagai pahlawan revolusi, pejuang Islam, pembela kaum muslimin, pengusir penjajah kristian Barat, dan pendukung kuat perjuangan untuk membebaskan Palestin dari cengkaman zionis Yahudi.
Setelah ia berhasil menarik simpati kaum muslimin dan kekuasaannya telah kukuh, maka ia mulai menunjukkan jati dirinya sebagai agen zionis-kristian dan kekafiran yang sangat kuat memusuhi Islam.
Berikut ini beberapa ucapan, tindakan, dan kepandaian Qaddafi yang merupakan kekafiran yang nyata, sehingga para ulama dan persatuan Islam antarabangsa menghukumnya sebagai seorang kafir murtad.
Syirik (menyekutukan Allah dengan selain-Nya) dan mempermainkan Allah SWT
Syirik (menyekutukan Allah dengan selain-Nya) dan mempermainkan Allah SWT
- Bagi Gaddafi, Allah Pencipta tidak jauh berbeza dengan parti politik pembangkang. Gaddafi menuduh Allah berbuat zalim. Dalam pertemuan dengan para pemimpin politik membahas proses ‘Teori Internasional Ketiga’ di ibukota Tripoli pada 9 Ogos 1975, Qaddafi mengatakan: “Revolusi tidak secara automatik mesti selalu berwarna ‘putih’. Ia juga boleh berwarna ‘merah’ terhadap lawan-lawannya. Musuh haruslah dibinasakan. Saya katakan kepada anda semua, agama-agama juga membinasakan para lawannya. Allah juga membinasakan para lawannya, padahal Allah juga yang telah menciptakan mereka. Jadi setiap orang membinasakan para lawannya.”
Gaddafi mempermainkan Allah dan menyamakan dirinya dengan Allah. Dalam Al-Qur’an (QS. Al-Haj (22): 73), Allah menentang tuhan sembahan kaum musyrik untuk bersatu demi menciptakan seekor nyamuk. Dalam pidato kenegaraan pada 1 Oktober 1989 untuk memperingati terusirnya penjajah Itali dari bumi Libya, Gaddafi mengatakan: “Aku menentang anda semua sebagaimana Dia berfirman kepada mereka; ‘Buatlah untukku seekor nyamuk saja!’ Dia menentang mereka yang mengatakan ‘Allah bukanlah apa-apa.’ Dia menentang mereka ‘Buatlah untuk Kami seekor lalat!’ Maka aku tentang anda semua: ‘Buatlah untuk kami Pepsi saja!’
Gaddafi membandingkan Allah dengan manusia. Jika Allah menjadi tuhan di langit, maka rakyat juga menjadi tuhan di bumi. Dalam pidato kenegaraanpada 1 Oktober 1989 tersebut, Gaddafi juga menyatakan: “Rakyat itu seperti Allah…Allah di langit, dan rakyat di bumi. Dia tidak memiliki sekutu. Jika Allah memiliki sekutu, Dia akan berfirman ‘Mereka akan mencari jalan untuk naik kepada Pemilik ‘Arsy’. Jika ada tuhan-tuhan selain Dia, niscaya setiap tuhan akan mengatakan ‘Aku ingin menjadi Tuhan.’ Jika Dia berada di Arsy, niscaya tuhan-tuhan lain akan melakukan kudeta untuk menjatuhkan-Nya…Rakyat di atas bumi juga harus seperti ini, menjadi tuhan di atas buminya.”
Dalam pidato kenegaraan pada 27 Disember 1990, Qaddafi mengatakan, “Rakyat adalah penguasa di atas muka bumi. Rakyat menentukan apapun di bumi yang ia kehendaki. Adapun Allah berada di langit. Maka tiada penengah antara kita dengan Allah.” Inilah prinsip sekularisme yang dipraktikkan Gaddafi di Libya.
Seluruh ajaran Al-Qur’an dan as-sunnah dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, ketenteraan, dan lainnya dicampakkan. Ajaran Islam hanya diakui dalam urusan ibadah ritual semata-mata.
Sebagai gantinya, di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, ketenteraan, dan lainnya Gaddafi menerapkan undang-undang positif yang ia karang sendiri. Ia menamakannya al-kitab al-akhdar, Kitab Hijau (Green Book).
Terbit dalam bahasa Arab, Kitab Hijau menggariskan tiga dasar, iaitu “Demokrasi berdasarkan Kekuasaan Rakyat,” “Ekonomi Sosialisme” dan “Teori Internasional Ketiga.” Perkara itu lalu menjadi panduan bagi sistem demokrasi ala Khadafi, sekaligus panduan politik luar negeri Libya.Tidak aneh jika Qaddafi sangat kuat menerapkan sekularisme dan menolak penerapan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia sangat mengagumi bapa sekularisme Turki, Musthafa Kamal Ataturk.
Ia bekerja sangat kuat demi menerapkan sekularisme ala Turki di Libya. Dalam dialog dengan para ulama dan penghafal Al-Qur’an pada tanggal 3 Julai 1978, Qaddafi menyatakan para ulama Turki yang fanatik, bodoh, dan lugu menolak memberi fatwa kebolehan sekularisme.
Qaddafi mengatakan : “Ataturk adalah orang yang dizalimi…saya katakan perkara ini kepada sejarah. Hal itu kerana orang-orang yang bodoh, lugu, dan fanatik (maksudnya para ulama Islam di Turki, edt) memaksanya (maksudnya Musthafa Kamal Ataturk, edt) untuk kafir (maksudnya menghukum Ataturk Kafir kerana menerapkan sekularisme di Turki, edt). Mestinya mereka menyatakan kepadanya ‘ya, boleh’ sehingga mereka tetap sebagai muslimin. Namun mereka menjawab ‘tidak, tidak boleh, haram’. Siapa yang berkata kepada anda semua? Mereka memakai serban di kepala, lalu mengatakan ‘tidak boleh, haram’. Ataturk bertanya kepada mereka, “Apakah sama sekali tidak ada fatwa ulama yang menyatakan kita tetap sebagai kaum muslimin, dan pada masa yang sama kita memisahkan agama dari negara?’ Mereka menjawab, “Tidak, sama sekali tidak ada fatwa.”
Sebagai seorang penguasa sekular, Qaddafi menegaskan fungsi masjid terhad membahas urusan peribadi; syurga, neraka, pahala, siksa, dan ibadah ritual. Adapun urusan politik, ekonomi, sosial, budaya, ketenteraan, dan aspek kehidupan masyarakat yang lainnya tidak boleh dibahas di masjid.
Sebagai seorang penguasa sekular, Qaddafi menegaskan fungsi masjid terhad membahas urusan peribadi; syurga, neraka, pahala, siksa, dan ibadah ritual. Adapun urusan politik, ekonomi, sosial, budaya, ketenteraan, dan aspek kehidupan masyarakat yang lainnya tidak boleh dibahas di masjid.
Ia menekankan urusan awam adalah hak penguasa semata, sedangkan urusan peribadi adalah urusan setiap hamba dengan Tuhannya.
Dalam khutbah Jum’at di masjid Jado, 11 Julai 1980, Qaddafi mengatakan: “Pokok dari khutbah Jum’at adalah masyarakat meninggalkan kesibukan-kesibukan dunia dan masalah mereka di luar masjid, lalu mempergunakan waktu yang singkat untuk solat (Jum’at), mereka mendengarkan firman Allah tentang kematian, kehidupan, syurga, neraka, kebangkitan, perhitungan amal, dan balasan. Adapun masalah kehidupan harus dibahas di luar masjid.”
Mempermainkan Nabi SAW
Mempermainkan Nabi SAW
- Kebencian Qaddafi terhadap Nabi SAW dan sunahnya tidak boleh ditutupi, bahkan ia mengumumkannya di depan awam dengan berbangga diri dan penuh keangkuhan. Tidak hairan apabila ia memerintahkan membakar kitab-kitab hadits dengan alasan kitab kuning yang telah usang dan ketinggalan zaman. Lebih dari itu, Qaddafi mengingkari As-sunnah sebagai sumber kedua ajaran Islam. Qaddafi mencampakkan kalender hijrah. Sebagai gantinya, ia menetapkan sistem kalender baru yang dimulai dengan wafatnya Nabi SAW.
Berdalih atas tindakannya itu, Qaddafi mengatakan, “Ada banyak peristiwa sejarah yang saya yakini lebih penting dari hijrah Nabi… di antaranya adalah kewafatan Nabi SAW. Wafatnya Rasul SAW setara dengan kelahiran Isa AS… Jika kita harus membuat kalender dengan berpandukan kepada peristiwa-peristiwa sejarah, maka yang lebih utama adalah dengan berpandukan kepada kewafatan Nabi SAW. Di antara peristiwa penting adalah kewafatan Nabi, sehingga kita boleh menetapkan kalender atau menuliskan untuk umat manusia suatu sejarah sampai setelah berlalu jutaan tahun, bahawasanya ada seorang rasul penutup para nabi yang wafat pada tahun sekian, atau telah berlalu kewafatannya sejak sekian tahun atau sekian abad.” (Khuthab wa Ahadits al-Qaid ad-Diniyah, hal. 290)
Qaddafi juga menyatakan alasan tersebut dengan mengatakan, “Jadi Umar bin Khatab adalah orang yang menyatakan ’Tahun ini tahun hijrah’. Itu adalah pendapatnya peribadi. Namun kita juga punya pendapat sendiri. Kita berpendapat…kita boleh menyatakan bahawa peristiwa hijrah tidaklah memiliki erti sepenting itu. Hal yang lebih penting darinya adalah penaklukan Mekah. Dan yang lebih penting lagi adalah wafatnya Nabi SAW.” (Khuthab wa Ahadits al-Qaid ad-Diniyah, hal. 300-301)
Sungguh ganjil. Wafatnya Rasulullah SAW dianggap sebagai mukjizat yang sama dengan keajaiban kelahiran nabi Isa AS. Siapakah yang merasa gembira dengan wafatnya Rasulullah SAW, sehingga merayakannya dan menjadikannya sebagai permulaan kalender?
Tiada orang yang bergembira dan merayakan wafatnya Rasulullah SAW dengan cara seperti itu selain orang Yahudi, Nasrani, Majusi, dan musyrikin yang memendam kebencian terdalam terhadap diri Rasulullah SAW!
Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia! Siapapun seorang mukmin yang ditimpa oleh sebuah musibah, maka hendaklah ia berdukacita dengan musibah (kehilangan)ku sebagai ganti dari berdukacita kerana kehilangan orang lain. Sesungguhnya tiada seorang pun dari umatku yang tertimpa musibah yang lebih berat dari musibah kehilanganku.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 7879)
Bekas ibu pengasuh Nabi SAW, Ummu Aiman menangis di hadapan Abu Bakar dan Umar. Keduanya bertanya kepada Ummu Aiman tentang sebab ia menangis, maka ia menjawab, “Aku tidak menangisi peribadi beliau SAW, kerana aku mengetahui balasan di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah SAW. Namun aku menangis kerana wahyu Allah telah terputus (dengan meninggalnya Rasulullah SAW).” Maka Abu Bakar dan Umar ikut menangis. (HR. Muslim)
Bekas pembantu Nabi SAW, Anas bin Malik berkata, “Pada hari Rasulullah SAW tiba di Madinah, segala sesuatu bersinar terang. Namun pada hari beliau SAW wafat, segala sesuatu di Madinah menjadi gelap.” Anas berkata lagi, “Tangan-tangan kami telah selesai menimbun jenazah Nabi SAW, namun hati kami seakan mengingkari (kewafatan)nya.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad. Dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Katsir dan syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 1631)
Penghinaan dan kebencian Qaddafi kepada Rasulullah SAW tidak berhenti setakat urusan sistem tarikh kalendar kontroversi ini. Dalam khutbahnya pada acara perayaan maulid Nabi SAW di masjid Maulaya Muhammad, ibukota Tripoli pada 19 Februari 1978, Qaddafi mengatakan: ”Jika aku mengatakan kepada anda semua, Rasulullah, maka kalian semua menjawab Shallallahu ‘alaihi wa salam. Namun jika aku mengatakan kepada anda semua, Allah, ternyata anda semua tidak mengatakan apa-apa. Ini merupakan sebuah bentuk penghambaan (bertuhankan Nabi SAW, edt) dan paganism yang kita jalani…Jika sekarang saya mengatakan Allah sebanyak seribu kali, ternyata keadaannya biasa saja. Namun ketika saya mengatakan Rasulullah, setiap orang di antara kita mengatakan Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan-akan perkara itu berarti kita lebih takut kepada Rasulullah melebihi takut kita kepada Allah. Atau seakan-akan kita merasakan Rasulullah lebih dekat kepada kita melebihi dekatnya Allah kepada kita. Ini sepenuhnya sama dengan orang-orang Masehi (Nasrani, edt) yang mengatakan: ‘Isa lebih dekat kepada kita daripada Allah’.
Di dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang menegaskan: ‘Sesungguhnya Nabi bersabda: Anda semua wajib mengikuti semua ucapan yang aku katakan!’ Jika ada ayat seperti itu, maka dimana gerangan perkataan yang ia ucapkan selama 40 tahun sebelum diangkat menjadi nabi? Telah dipastikan bahawa ia juga berbicara sebelum diangkat menjadi nabi. Jika Nabi mengatakan ‘Ikutilah hadits (sabda)ku!’, maka itu ertinya haditsnya akan diberlakukan sebagai pengganti dari Al-Qur’an. Namun secara terus-menerus ia menegaskan kewajiban berpegang teguh dengan Al-Qur’an semata. Seandainya ia menganggap suci haditsnya dan menempatkannya dalam kedudukan yang sangat segera seperti Al-Qur’an, tentulah ia sudah membuat kitab lain yang akan menggantikan kedudukan Al-Qur’an.”katanya lagi
Qaddafi jelas-jelas mengingkari perintah Al-Qur’an dan hadits sahih kepada umat Islam untuk banyak membaca salawat atas Nabi SAW. Qaddafi juga secara terang-terangan menolak hadits Nabi SAW, dan mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi SAW, dan ijma’ ulama yang memerintahkan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta menempatkan As-sunnah sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah Al-Qur’an.
Qaddafi juga mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits shahih, dan ijma’ ulama yang menyatakan Nabi SAW diutus kepada seluruh umat manusia dan jin.
Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia! Siapapun seorang mukmin yang ditimpa oleh sebuah musibah, maka hendaklah ia berdukacita dengan musibah (kehilangan)ku sebagai ganti dari berdukacita kerana kehilangan orang lain. Sesungguhnya tiada seorang pun dari umatku yang tertimpa musibah yang lebih berat dari musibah kehilanganku.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 7879)
Bekas ibu pengasuh Nabi SAW, Ummu Aiman menangis di hadapan Abu Bakar dan Umar. Keduanya bertanya kepada Ummu Aiman tentang sebab ia menangis, maka ia menjawab, “Aku tidak menangisi peribadi beliau SAW, kerana aku mengetahui balasan di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah SAW. Namun aku menangis kerana wahyu Allah telah terputus (dengan meninggalnya Rasulullah SAW).” Maka Abu Bakar dan Umar ikut menangis. (HR. Muslim)
Bekas pembantu Nabi SAW, Anas bin Malik berkata, “Pada hari Rasulullah SAW tiba di Madinah, segala sesuatu bersinar terang. Namun pada hari beliau SAW wafat, segala sesuatu di Madinah menjadi gelap.” Anas berkata lagi, “Tangan-tangan kami telah selesai menimbun jenazah Nabi SAW, namun hati kami seakan mengingkari (kewafatan)nya.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad. Dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Katsir dan syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 1631)
Penghinaan dan kebencian Qaddafi kepada Rasulullah SAW tidak berhenti setakat urusan sistem tarikh kalendar kontroversi ini. Dalam khutbahnya pada acara perayaan maulid Nabi SAW di masjid Maulaya Muhammad, ibukota Tripoli pada 19 Februari 1978, Qaddafi mengatakan: ”Jika aku mengatakan kepada anda semua, Rasulullah, maka kalian semua menjawab Shallallahu ‘alaihi wa salam. Namun jika aku mengatakan kepada anda semua, Allah, ternyata anda semua tidak mengatakan apa-apa. Ini merupakan sebuah bentuk penghambaan (bertuhankan Nabi SAW, edt) dan paganism yang kita jalani…Jika sekarang saya mengatakan Allah sebanyak seribu kali, ternyata keadaannya biasa saja. Namun ketika saya mengatakan Rasulullah, setiap orang di antara kita mengatakan Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan-akan perkara itu berarti kita lebih takut kepada Rasulullah melebihi takut kita kepada Allah. Atau seakan-akan kita merasakan Rasulullah lebih dekat kepada kita melebihi dekatnya Allah kepada kita. Ini sepenuhnya sama dengan orang-orang Masehi (Nasrani, edt) yang mengatakan: ‘Isa lebih dekat kepada kita daripada Allah’.
Di dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang menegaskan: ‘Sesungguhnya Nabi bersabda: Anda semua wajib mengikuti semua ucapan yang aku katakan!’ Jika ada ayat seperti itu, maka dimana gerangan perkataan yang ia ucapkan selama 40 tahun sebelum diangkat menjadi nabi? Telah dipastikan bahawa ia juga berbicara sebelum diangkat menjadi nabi. Jika Nabi mengatakan ‘Ikutilah hadits (sabda)ku!’, maka itu ertinya haditsnya akan diberlakukan sebagai pengganti dari Al-Qur’an. Namun secara terus-menerus ia menegaskan kewajiban berpegang teguh dengan Al-Qur’an semata. Seandainya ia menganggap suci haditsnya dan menempatkannya dalam kedudukan yang sangat segera seperti Al-Qur’an, tentulah ia sudah membuat kitab lain yang akan menggantikan kedudukan Al-Qur’an.”katanya lagi
Qaddafi jelas-jelas mengingkari perintah Al-Qur’an dan hadits sahih kepada umat Islam untuk banyak membaca salawat atas Nabi SAW. Qaddafi juga secara terang-terangan menolak hadits Nabi SAW, dan mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi SAW, dan ijma’ ulama yang memerintahkan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta menempatkan As-sunnah sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah Al-Qur’an.
Qaddafi juga mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits shahih, dan ijma’ ulama yang menyatakan Nabi SAW diutus kepada seluruh umat manusia dan jin.
Dalam pertemuan dengan para pensyarah universiti pada 9 Februari 1982, Qaddafi mengatakan, “Jasad bangsa Arab adalah nasionalisme Arab dan ruh mereka adalah Islam, kerana Muhammad diutus kepada bangsa Arab semata-mata! Al-Qur’an datang untuk bangsa Arab dan dengan bahasa Arab, ditujukan kepada bangsa Arab saja.Siapa pun orang selain bangsa Arab yang memeluk agama Islam, pada hakikatnya adalah sukarela saja (bukan wajib, edt). Urusannya terserah Allah, namun sebenarnya ia tidak dimaksudnya (sebagai objek dakwah Al-Qur’an dan Islam, edt).”
Dalam pertemuan Sekretariat Jenderal Sementara Konferensi Internasional Bangsa-bangsa Islam pada 19 Disember 1989, Qaddafi mengatakan kebencian dan penghinaannya kepada Nabi SAW dan para sahabat.
Dalam pertemuan Sekretariat Jenderal Sementara Konferensi Internasional Bangsa-bangsa Islam pada 19 Disember 1989, Qaddafi mengatakan kebencian dan penghinaannya kepada Nabi SAW dan para sahabat.
Qaddafi menyatakan, “Ketika para sahabat Rasul SAW menjadi para penguasa, maka mereka diinjak-injak dengan kaki dalam kapasiti mereka sebagai para penguasa awam. Usman dibunuh dalam kedudukannya sebagai ketua negara republik atau raja. Umar dengan keadilannya menjadi seorang penguasa, dan menaklukkan Parsi dan Rom. Ali diperangi oleh kaum muslimin. Orang-orang terdekat, pengikut-pengikut, dan kawan-kawannya telah memisahkan diri darinya. Kenapa? Kerana ia berkeinginan kekuasaan dan ingin menjadi ketua negara republik. Seandainya Muhammad SAW menjadi ketua negara republik, niscaya orang-orang akan meninggalkannya.”
Pejuang Muda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar